Soegija-Pidato.webp

Soegija: Perang dan Kemanusiaan Itu (?) – IndoPROGRESS

 

Di tengah dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang semakin kompleks, kita perlu menengok kembali warisan nilai dari para tokoh yang telah meletakkan fondasi kebangsaan. Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (1896–1963), uskup pribumi pertama Indonesia, merupakan sosok yang berhasil merajut harmoni antara keimanan dan kebangsaan. Semboyannya yang terkenal, “100% Katolik, 100% Indonesia,” bukan sekadar slogan, melainkan tekad hidup yang ia wujudkan dalam perjuangan dan pengabdiannya bagi bangsa.

Lahir di Surakarta dari keluarga sederhana bernama Karijosoedarmo, Soegija, demikian ia biasa dipanggil, adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Poerbacarito, seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, sementara ibunya seorang pedagang stagen nila. Dari latar belakang sederhana inilah ia tumbuh menjadi tokoh monumental dalam sejarah Indonesia, membuktikan bahwa kebesaran jiwa tidak ditentukan oleh status sosial kelahiran. Artikel ini akan mengkaji peran historis Soegija dalam perjuangan kemerdekaan, nilai-nilai yang diwariskannya, serta relevansi dan implementasinya dalam konteks Indonesia kontemporer.

Perjuangan untuk Indonesia Merdeka

Ketika Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), Mgr. Soegijapranata menunjukkan ketegasan dalam melindungi martabat kemanusiaan. Ia melakukan berbagai upaya perlawanan sipil yang cerdik, menolak penyitaan fasilitas gereja untuk kepentingan militer Jepang dengan menempelkan nama-nama di setiap pintu pastoran seolah-olah penuh penghuni. Strategi ini menunjukkan bahwa perlawanan tidak selalu harus dengan kekerasan, tetapi dapat dilakukan dengan kecerdasan dan keberanian moral.

Sikap nasionalisme Soegija terlihat paling jelas ketika ia memerintahkan pengibaran bendera Merah Putih di halaman pastoran Gedangan dan kompleks susteran segera setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, meskipun mendapat protes keras dari penguasa Sekutu. Tindakan ini bukan sekadar simbolik, ini adalah pernyataan tegas bahwa Gereja Katolik Indonesia berdiri di pihak kemerdekaan bangsa, bukan di pihak kolonial.

Peran Soegija sebagai mediator perdamaian tercatat dalam peristiwa berdarah “Serangan Lima Hari” di Semarang (15-20 Oktober 1945). Bersama utusan tentara Jepang dan Sekutu, ia berhasil merundingkan gencatan senjata yang menghentikan pertumpahan darah. Kemampuannya menjembatani pihak-pihak yang bertikai menunjukkan otoritas moral yang diakui semua pihak, melampaui batas-batas agama dan kebangsaan.

Yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan jaringan internasional Gereja Katolik untuk menyuarakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui surat dan telegram ke Vatikan, Soegija membawa isu Indonesia ke panggung internasional, membantu legitimasi kemerdekaan Indonesia di mata dunia. Ini menunjukkan visi globalnya, bahwa perjuangan lokal Indonesia adalah bagian dari perjuangan universal untuk keadilan dan kemerdekaan.

 

Nilai-Nilai Abadi yang Diwariskan

Integritas dan konsistensi Soegija terlihat dari kemampuannya menyatukan identitas religiusnya dengan identitas kebangsaan tanpa konflik internal. Dari tulisan-tulisannya di majalah Swaratama sejak 1926, terlihat konsistensi pemikirannya tentang keadilan sosial. Dalam salah satu tulisannya di Swaratama edisi Juli 1928, ia menegaskan: “Setiap bangsa harus memiliki pemerintahan sendiri sesuai dengan kodratnya. Pemerintah hanya berfungsi mengatur, bukan menentukan kodrat bangsa. Karena itu, kemerdekaan bangsa adalah hak kodrati yang melekat dan bukan sesuatu yang diberikan oleh pemerintah.”

Nilai pluralisme dan inklusivisme yang dihidupi Soegija tercermin dari kesaksian dalam catatan hariannya (1947-1949), di mana ia membuka gereja sebagai tempat pengungsian tanpa membedakan suku atau agama. Ini bukan sekadar toleransi pasif, tetapi penerimaan aktif terhadap keberagaman sebagai kekayaan bangsa.

Kesederhanaan hidupnya legendaris. Meskipun menjadi uskup, kedudukan tertinggi dalam hierarki Gereja Katolik lokal, Soegija tetap hidup sederhana hingga akhir hayatnya. Ia wafat di Belanda tahun 1963 ketika menghadiri Konsili Vatikan II, lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional, bukan hanya karena kedudukannya sebagai pemimpin Gereja, tetapi karena hatinya yang penuh cinta pada bangsa dan kemanusiaan.

Pendidikan Soegija yang menggabungkan tradisi intelektual Barat, ia belajar filsafat di Oudenbosch dan teologi di Maastricht, Belanda, dengan kearifan lokal Jawa menghasilkan sintesis pemikiran yang unik. Sejak kecil, ia mendapat didikan seni tradisional dari ayahnya, seperti tembang dan gamelan, sementara dari ibunya ia belajar keluhuran budi, mengatur rasa dan kehendak, serta sopan santun dengan memperhatikan tingkatan bahasa Jawa.

 

Landasan Spiritual dan Relevansi Vincensian

Praksis hidup Soegija mencerminkan ajaran Kristiani yang mendalam. Ketika ia melindungi pengungsi tanpa memandang agama, ia menghidupi perintah kasih dalam Matius 22:39: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Semangat perjuangannya untuk kemerdekaan sejalan dengan tradisi profetik Yesaya 61:1-2 tentang “memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan.”

Perannya sebagai mediator perdamaian mencerminkan sabda bahagia: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Model kepemimpinannya yang melayani mengikuti teladan Kristus yang “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Markus 10:45).

Spiritualitas Vincensian yang berakar dari St. Vincent de Paul memiliki resonansi kuat dengan praksis Soegija. Preferensi untuk kaum miskin terlihat dari perhatiannya terhadap kesejahteraan pekerja pabrik gula Gondang Lipuro. Kesederhanaan yang dihidupinya sejalan dengan ajaran St. Vincent bahwa kesederhanaan adalah “jiwa dari semua kebajikan.” Kerendahan hatinya dalam belajar dari berbagai tradisi mencerminkan ajaran St. Vincent bahwa kerendahan hati adalah “fondasi dari kesempurnaan evangelical.” Dan cara kreatifnya melindungi fasilitas gereja dari penyitaan Jepang menunjukkan kasih yang “afektif dan efektif”, tidak hanya perasaan tetapi tindakan nyata yang cerdas dan kontekstual.

Urgensi untuk Indonesia Kontemporer 

Nilai-nilai yang diwariskan Soegija bukan sekadar nostalgia historis, tetapi sangat relevan dan urgen untuk Indonesia kontemporer. Data dari Setara Institute (2023) menunjukkan masih tingginya kasus intoleransi di Indonesia, dengan 175 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Di tengah polarisasi identitas yang mengancam kohesi sosial, semangat “100% Katolik, 100% Indonesia” menawarkan model sintesis identitas yang tidak saling meniadakan, melainkan saling memperkaya.

 

 

Krisis kepemimpinan moral yang melanda Indonesia tercermin dari Indeks Persepsi Korupsi 2023 yang menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara (Transparency International). Model kepemimpinan Soegija yang mengutamakan pelayanan dan kesederhanaan menjadi antitesis terhadap kultur korupsi dan hedonisme yang merajalela.

Kesenjangan sosial yang melebar, dengan Koefisien Gini Indonesia per Maret 2025 sebesar 0,375 (BPS), menunjukkan betapa perhatian Soegija terhadap keadilan sosial masih sangat relevan. Tulisan-tulisannya tentang Rerum Novarum dan hak-hak pekerja dalam Swaratama edisi 1926-1928 seolah berbicara langsung kepada situasi kontemporer kita.

Jürgen Habermas dalam konsep “post-secular society” berargumen bahwa masyarakat modern perlu mendengarkan kembali suara-suara religius dalam diskursus publik, selama disampaikan dalam bahasa yang dapat diakses semua pihak. Soegija telah membuktikan hal ini, ia berhasil menerjemahkan nilai-nilai Katolik ke dalam praksis kebangsaan yang inklusif, tanpa jatuh dalam teokrasi atau fundamentalisme.

Charles Taylor dalam “A Secular Age” (2007) menegaskan bahwa modernisasi tidak harus berarti hilangnya dimensi spiritual dari ruang publik. Soegija membuktikan bahwa identitas religius dapat berkontribusi positif dalam pembangunan bangsa. Pancasila sebagai dasar negara, khususnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” menemukan konkretisasi sempurna dalam hidup dan karya Soegija.

Implementasi dalam Kehidupan Berbangsa

Implementasi nilai-nilai Soegija memerlukan strategi konkret dan terukur. Dalam bidang pendidikan, integrasi kisah dan nilai-nilai tokoh lintas agama yang berkontribusi pada kemerdekaan, termasuk Soegija, dalam kurikulum pendidikan karakter menjadi keharusan. Model pendidikan inklusif yang menghargai keberagaman, seperti yang dipraktikkan Soegija di Kolese Xaverius Muntilan, perlu diadopsi lebih luas.

Untuk kepemimpinan publik, program pelatihan servant leadership yang mengadopsi model Soegija sangat diperlukan. Penguatan sistem akuntabilitas publik yang memastikan pemimpin hidup sederhana dan berintegritas, sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, harus dikawal dengan ketat.

 

Dialog antarumat beragama perlu diperkuat melalui forum-forum struktural dari tingkat lokal hingga nasional. Program-program kemanusiaan bersama yang melibatkan semua komunitas agama, seperti yang dilakukan Soegija saat membuka gereja untuk semua pengungsi, dapat menjadi model kerja sama lintas iman yang efektif.

Gerakan advokasi untuk keadilan sosial, khususnya hak-hak pekerja dan kaum marginal, harus terus diperjuangkan melanjutkan legacy Soegija. Community organizing untuk pemberdayaan ekonomi lokal dengan memanfaatkan kreativitas dalam menghadapi keterbatasan sumber daya menjadi semakin penting di era disrupsi ekonomi.

Dalam era digital, membangun narasi media yang mempromosikan persatuan dalam keberagaman menjadi sangat penting untuk melawan narasi polarisasi dan kebencian. Program literasi digital yang mengajarkan etika berkomunikasi di media sosial berdasarkan nilai-nilai kasih dan penghormatan harus menjadi prioritas pendidikan nasional.

Penutup

Warisan Mgr. Albertus Soegijapranata membuktikan bahwa identitas religius dan kebangsaan tidak perlu dipertentangkan. Seperti yang ditulis Gus Dur dalam “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2006): “Agama tanpa kemanusiaan adalah kemunafikan, dan kemanusiaan tanpa transendensi adalah kehampaan.” Soegija telah menunjukkan jalan tengah yang mengintegrasikan keduanya dengan sempurna.

Di era post-truth dan polarisasi identitas saat ini, kita memerlukan lebih banyak “Soegija-Soegija” baru yang mampu menjembatani perbedaan, melayani tanpa diskriminasi, dan membangun bangsa dengan integritas. Nilai-nilai yang diwariskan Soegija bukan hanya relevan, tetapi sangat urgen untuk dihidupkan kembali.

Kemerdekaan yang diperjuangkan Soegija bukan hanya kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan untuk menjadi manusia seutuhnya, bebas dari penindasan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia” mengajarkan kita bahwa loyalitas kepada agama dan bangsa dapat berjalan seiring, bahkan saling memperkuat. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, formula ini dapat diadaptasi: “100% beriman sesuai keyakinan masing-masing, 100% Indonesia.”

 

Itulah warisan terbesar yang harus kita teruskan kepada generasi mendatang, sebuah Indonesia di mana setiap warga dapat menghidupi keyakinannya secara penuh sambil berkontribusi total untuk kemajuan bangsa. Mgr. Albertus Soegijapranata telah menunjukkan jalannya. Kini giliran kita untuk melanjutkan perjuangan itu.

Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah(Matius 5:9)

 

Referensi: 

 

BPS. (2025). Statistik Indonesia 2025. Badan Pusat Statistik.

Habermas, J. (2008). Between Naturalism and Religion. Polity Press.

Setara Institute. (2023). Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2023.

Taylor, C. (2007). A Secular Age. Harvard University Press.

Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index 2023.

UUD 1945 dan Amandemen.

UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN.

Wahid, A. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. The Wahid Institute.