Keteladanan Monsinyur Petrus Joannes Willekens

Walaupun Monsinyur Petrus Joannes Willekens, SJ, bukanlah politisi atau penggagas pada perjuangan fisik Kemerdekaan Indonesia, tetapi peran-peran moral dan kemanusiaan tidaklah terlupakan. Beliau lahir pada tanggal 6 Desember 1881 di Reussel, Brabant Utara. Ketika Imam-imam dan para religi ditawan pada zaman pendudukan Jepang, 1942–1945, Monsinyur Willekens menggunakan posisinya di forma diplomatik sebagai wakil Takhta Suci untuk membela hak-hak umat dan lembaga Gereja. Ia menyelamatkan Rumah Sakit St. Carolus dan menolak gereja Santa Theresia dibuatkan gudang militer dan memperjuangkan hak para tahanan dan fakir miskin.

Dalam masa transisi menuju kemerdekaan dan setelahnya, beliau juga turut membangun struktur dasar Gereja Katolik Indonesia yang berakar pada kekuatan lokal. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi moral bangsa membentuk sumber daya manusia yang mandiri, berintegritas, dan melayani. Dengan membangun lembaga pendidikan imam, biarawan, dan biarawati pribumi, Willekens turut meletakkan fondasi kebangsaan melalui Gereja yang menyeluruh.


Selama karya beliau, kita dapat meneladani berbagai nilai luhur yang patut dilestarikan terutama terkait dengan semangat pelayanan dan kepemimpinannya yang bersifat merangkul bagi seluruh umat Gereja Katolik. Hal ini terbentuk dalam dedikasinya dalam membangun lembaga pendidikan rohani bagi kaum pribumi, dan perlindungan yang ia berikan kepada umat yang miskin dan menderita. Selain itu, integritas moral, keberanian, serta kepedulian sosial beliau untuk berpegang teguh pada prinsip dan perjuangannya mempertahankan hak-hak bagi rakyat kecil Gereja yang tertindas patut diteladani.


Nilai-nilai tersebut dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sebagai contoh, saat menjadi ketua sebuah organisasi, fokus pada pelayanan seluruh anggota yang merangkul. Selain itu, kita juga harus memiliki teladan dalam tanggung jawab yang mengutamakan kerja sama dan kekompakan antar anggota. Di lingkungan sekolah atau masyarakat, sebagai siswa, kita harus dapat aktif dalam kegiatan sosial, serta menolong sesama tanpa menunggu imbalan. Yang terpenting, kita harus mengedepankan bukti keadilan yang terjadi di lingkungan manapun, mendukung hak kesetaraan dan menghargai nilai moral antar sesama manusia.


Perilaku-perilaku beliau juga sejalan dengan apa yang tertulis dengan ajaran Kitab Suci. Dalam Mikha 6:8 tertulis, “Yang dituntut Tuhan darimu: berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.” Ayat ini mencerminkan cara Willekens memimpin umat secara adil, setia pada panggilan hidupnya, dan tetap rendah hati dalam pelayanan. Dalam Matius 25:40, Yesus berkata, Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku.” Sikap Monsinyur Willekens dalam membela kaum tertindas selama penjajahan menunjukkan semangat pelayanan terhadap yang lemah dan menderita, sebagaimana diajarkan oleh Kristus.


Sebagai tokoh Katolik, nilai-nilai yang diperjuangkan beliau juga selaras dengan nilai-nilai Vinsensian seperti kesederhanaan yang terlihat dari gaya hidupnya yang tidak mewah dan pengabdiannya yang tulus. Nilai kerendahan hati, meskipun memiliki jabatan tinggi, ia tetap memilih jalan untuk dekat dan merangkul umat yang miskin dan menderita. Nilai mati raga, beliau rela berkorban untuk meninggalkan kenyamanannya di Belanda demi misi di Indonesia dan pelayanan yang dilakukannya selama 47 tahun tanpa mengharapkan imbalan. Nilai penyelamatan jiwa-jiwa juga teraplikasikan dari bentuk pewartaan beliau selama berkarya di Hindia Belanda dengan menolong dan memperjuangkan hak serta keadilan bagi umat Gereja Katolik di Indonesia.


Selama pewartaan Willekens di Indonesia, beliau telah memberikan perilaku-perilaku perjuangan terkait hak dan keadilan bagi umat Gereja di sini. Watak beliau dalam menggunakan jabatan kepemimpinannya sebagai sarana untuk merangkul seluruh umat Gereja yang tertindas patut dicontoh. Secara tidak langsung, beliau telah memberikan dampak moral yang besar di zaman pendudukan Jepang dan Belanda. Pesan yang ingin disampaikan adalah untuk tetap menjaga dan mempertahankan moral kemanusiaan serta keadilan bagi mereka yang tertindas. Selain itu, kita harus memaksimalkan peluang yang ada untuk memberi dampak yang signifikan.