
Siapakah Y.B. Mangunwijaya, dan mengapa namanya tetap relevan untuk dikenang hingga saat ini? Banyak orang mengetahuinya sebagai seorang pastor Katolik. Di balik jubah imamatnya, Romo Mangun adalah seorang arsitek, tokoh budaya, penulis, dan pejuang hak asasi manusia. Ia pernah mengangkat senjata pada masa kemerdekaan, kemudian memilih berjuang dengan cara yang berbeda: membangun desa yang layak untuk kaum miskin di tepi Kali Code, mendampingi masyarakat kecil yang terpengaruh proyek pembangunan, serta memperjuangkan pendidikan alternatif bagi anak-anak yang terlantar dan terpinggirkan. Apakah prinsip-prinsip yang dia jalani masih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang?
Nilai-Nilai Romo Mangun tetap relevan saat ini karena masalah yang dihadapi Indonesia pada era Romo Mangun belum sepenuhnya teratasi. Kesenjangan sosial tetap terlihat, banyak keluarga yang tinggal di daerah kumuh tanpa akses air bersih dan lingkungan yang sehat. Pendidikan juga belum seimbang, anak-anak dari keluarga kurang mampu masih sering ketinggalan dibandingkan teman-teman mereka yang lebih mampu. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip Romo Mangun seperti perhatian sosial, keberanian mendukung kaum lemah, dan kehidupan sederhana tetap menjadi acuan yang relevan.
Kitab Suci juga menekankan hal yang serupa: Matius 25:40, “Apapun yang kamu lakukan untuk salah satu dari saudara-saudaraku yang paling rendah ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Sama halnya dengan konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 34 menegaskan bahwa negara memelihara fakir miskin dan anak-anak yang terlantar. Dengan kata lain, panggilan untuk membantu orang-orang miskin bukan hanya tanggung jawab spiritual, tetapi juga kewaji ban sosial. Mengapa Masih Penting? karena masalah yang dihadapi pada masanya masih ada hingga sekarang, meski dalam wujud yang berbeda.
Pendidikan: Romo Mangun mendirikan SD Kanisius Mangunan untuk memberikan pendidikan inovatif bagi anak-anak di desa. Saat ini, pendidikan yang baik masih menjadi masalah, terutama di wilayah yang terbelakang. Semangatnya menegaskan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya untuk yang berpunya, melainkan hak setiap anak bangsa.
Keadilan Sosial: Ia secara langsung memperjuangkan hak warga yang menjadi korban Waduk Kedung Ombo. Saat ini, konflik pertanahan, pengusiran, dan hak-hak masyarakat kecil masih sering diabaikan. Sikapnya mengingatkan kita bahwa pembangunan harus dilakukan dengan adil dan berkeadaban.
Arsitektur Kemanusiaan: Romo Mangun meninggalkan “arsitektur megah” untuk menciptakan hunian sederhana di Kali Code. Sekarang, seiring dengan meningkatnya urbanisasi, konsep pemukiman terjangkau, sehat, dan berkelanjutan menjadi semakin mendesak. Tidak mengherankan, karyanya meraih Aga Khan Award pada tahun 1992, menunjukkan bahwa arsitektur dapat berfungsi sebagai sarana pembebasan.
Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut tetap ada karena kebutuhan akan keadilan, empati, dan solidaritas tidak pernah hilang. Menghidupi semangat Romo Mangun di masa kini bisa dilakukan dalam berbagai cara, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Di bidang pendidikan: mendukung gerakan literasi, mengajar sukarela, atau mengembangkan sekolah alternatif bagi anak-anak kurang mampu. Hal ini sejalan dengan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan hak setiap warga negara atas pendidikan bermutu.
Di bidang sosial: ikut terlibat dalam kegiatan pelayanan masyarakat, advokasi hak-hak kaum marginal, atau program pemberdayaan ekonomi.
Di bidang lingkungan dan arsitektur: mendukung pembangunan berkelanjutan, ruang hijau kota, serta hunian layak untuk masyarakat miskin.
Dalam kehidupan pribadi: hidup sederhana, menghargai sesama, serta menggunakan talenta masing-masing untuk melayani, bukan sekadar mengejar keuntungan pribadi.
Semua ini sejalan dengan nilai-nilai Vinsensian yang menekankan cinta kasih dalam tindakan nyata, keberpihakan pada orang miskin, dan pelayanan tanpa pamrih.
Romo Mangun bukan hanya milik sejarah, ia adalah teladan yang terus berbicara pada masa kini. Di tengah krisis sosial, lingkungan, dan pendidikan, kita bisa belajar dari keberanian, kesederhanaan, dan kasih yang ia wujudkan. Pertanyaannya kini: jika Romo Mangun masih hidup hari ini, ia pasti sudah berdiri di tengah kaum miskin dan terpinggirkan. Lalu, di manakah kita berdiri?
Menghidupi idealisme Romo Mangun di era sekarang dapat dilakukan melalui beragam cara, baik oleh masyarakat maupun pemerintah.
Dalam sektor pendidikan: mendukung inisiatif literasi, mengajar secara sukarela, atau menciptakan sekolah alternatif untuk anak-anak yang kurang mampu. Ini sejalan dengan UU No. 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Dalam ranah sosial: berpartisipasi dalam aktivitas pelayanan masyarakat, memperjuangkan hak-hak kelompok terpinggirkan, atau menjalankan program pemberdayaan ekonomi.
Dalam sektor lingkungan dan arsitektur: mendukung pembangunan yang berkelanjutan, ruang terbuka hijau di perkotaan, serta tempat tinggal yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam kehidupan pribadi: menjalani kesederhanaan, menghormati orang lain, serta memanfaatkan bakat masing-masing untuk berkontribusi, bukan hanya mengejar keuntungan pribadi.
Semua ini sejalan dengan prinsip-prinsip Vinsensian yang menekankan cinta dalam tindakan konkret, mendukung orang yang kurang mampu, serta pelayanan tanpa mengharapkan imbalan.
Romo Mangun tidak hanya menjadi bagian sejarah, tetapi ia merupakan panutan yang terus berbicara di zaman sekarang. Dalam situasi krisis sosial, lingkungan, dan pendidikan, kita dapat mengambil pelajaran dari keberanian, kesederhanaan, dan cinta yang ia tunjukkan. Pertanyaannya sekarang: jika Romo Mangun masih hidup saat ini, ia pasti akan berdiri di antara orang-orang miskin dan terbuang. Kemudian, di mana posisi kita?
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.