Dari Batavia untuk Nusantara: Perjalanan 47 Tahun Monsinyur Willekens

Monsinyur Petrus Joannes Willekens, S.J., adalah salah satu pilar Gereja Katolik di Indonesia yang jejaknya abadi dalam sejarah. Sebagai Vikaris Apostolik Batavia yang tiba pada 1934, dia bukan hanya seorang pemimpin gerejawi, tetapi juga seorang visioner yang merasakan panggilan untuk membangun dan memberdayakan. Perjalanan 47 tahun karyanya di Indonesia, yang membentang melalui tiga zaman berbeda, kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan era kemerdekaan. Perjalanan beliau menunjukkan ketahanan, dedikasi, dan cinta yang mendalam terhadap tanah dan umat yang dilayaninya.

Warisan Willekens tidak hanya terlihat dari bangunan fisik seperti seminari atau rumah sakit, tetapi lebih pada fondasi spiritual yang ia tanam. Dia adalah seorang gembala yang dengan tekun membina calon-calon imam pribumi, mendirikan kongregasi religius, dan dengan berani membela hak-hak umatnya di masa pergolakan. Kisah hidupnya mengajarkan kita tentang nilai pelayanan tanpa pamrih, keberanian dalam prinsip, dan visi yang jauh ke depan untuk kemandirian dan pertumbuhan umat. Perjalanan hidup dan karya Monsinyur Willekens mencerminkan 5 nilai-nilai yang penting. 

Nilai Visioner dan Pemberdayaan

Sebagai seorang pemimpin Gereja, ia tidak ingin membangun Gereja yang bergantung selamanya pada misionaris asing. Ia memiliki visi jangka panjang untuk menciptakan sebuah Gereja yang otonom, mandiri, dan dihidupi oleh imam, bruder, serta suster dari kalangan pribumi sendiri. Visi ini diwujudkan melalui tindakan-tindakan konkret dan strategis. Pendirian Seminari Tinggi Santo Paulus adalah langkah fundamental untuk mencetak kader pemimpin Gereja (imam diosesan) yang berasal dari dan memahami budaya lokal. Lebih jauh lagi, ia tidak hanya membentuk pelayan yang melayani, tetapi juga komunitas religius yang lahir dari budaya setempat. Pendirian Kongregasi Suster Abdi Dalem Sang Kristus dan pengesahan Kongregasi Bruder Rasul menunjukkan keyakinannya bahwa panggilan religius juga bersemai di hati kaum pribumi. Dengan memberdayakan mereka, Willekens membangun fondasi yang kokoh bagi Gereja Indonesia untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, jauh melampaui masanya.

Nilai Keberanian dan Keteguhan
Pada masa pendudukan Jepang yang gelap dan penuh bahaya, ketika banyak misionaris Belanda ditahan, ia menggunakan statusnya sebagai Vikaris Apostolik (yang diakuinya sebagai “wakil resmi Vatikan”) untuk secara aktif melindungi umat dan aset Gereja. Keberaniannya bukanlah tanpa perhitungan, tetapi dilandasi oleh prinsip yang teguh untuk membela kebenaran dan kemanusiaan. Ia berulang kali mendatangi instansi militer Jepang untuk melakukan protes atas pelanggaran yang terjadi. Tindakannya yang berhasil menyelamatkan Rumah Sakit St. Carolus dan mencegah penggunaan gereja untuk gudang logistik adalah bukti nyata efektivitas dari keberanian yang diplomatis namun gigih. Selain itu, ia dengan tegas menolak menjadikan Gereja sebagai alat propaganda Jepang, menunjukkan integritas dan komitmennya bahwa iman tidak boleh dikompromikan untuk kepentingan politik kekuasaan.

Semangat Merasul dan Kreatif
Willekens memahami bahwa karya misi haruslah relevan dan menyatu dengan konteks lokal dimana ia berada. Ia tidak memaksakan model Eropa secara kaku, tetapi mencari cara-cara kreatif agar pesan iman dapat diterima dan dihidupi. Gagasannya agar para imam dan religius memakai jubah putih adalah sebuah simbolisasi upaya kontekstualisasi ini, menyesuaikan dengan iklim dan mungkin juga kesan visual di masyarakat Jawa. Inspirasinya untuk mendirikan kongregasi suster pribumi justru datang dari pengamatannya terhadap kegiatan perempuan di Jawa dan komunitas suster di India Selatan, menunjukkan kemampuannya untuk belajar dari budaya lain dan menerapkannya secara kontekstual. Ia tidak hanya membangun institusi, tetapi juga merancang spiritualitas dan cara hidup yang sesuai untuk calon suster Jawa, seperti menekankan pada semangat merasul dan mencintai pekerjaan.

Nilai Ketekunan dan Kerja Keras
Nilai ketekunan terlihat sejak masa mudanya, ketika ia harus berhenti studi filsafat karena alasan kesehatan tetapi tidak menyerah dan kembali menyelesaikan pendidikannya hingga menjadi imam. Dedikasi ini terus terbawa dalam kepemimpinannya. Sebagai Vikaris Apostolik yang wilayahnya sangat luas, ia bekerja tanpa lelah untuk membangun berbagai lembaga dari nol, mengatasi kesulitan dana dan sumber daya manusia. Puncak dari ketekunannya adalah setelah masa pendudukan Jepang berakhir. Di tengah keadaan fisiknya yang lemah dan situasi yang kacau balau pasca-perang, ia memilih untuk cuti sebentar saja dan kembali ke Indonesia untuk memulihkan kembali Vikariat Batavia. Ini menunjukkan komitmen dan rasa tanggung jawab yang luar biasa besar. Bahkan di masa pensiun, ketekunannya tidak pudar; ia justru kembali kepada semangatnya untuk membina generasi penerus dengan menjadi pembimbing di seminari.

Semangat Membina dan Kebapakan
Di balik posisinya yang tinggi sebagai Uskup, Willekens pada hakikatnya adalah seorang bapa dan pendidik. Ia tidak hanya sekadar membuat keputusan dari balik meja, tetapi turun langsung terlibat dalam proses pembinaan. Dalam pendirian seminari, ia sendiri yang menetapkan kriteria calon, kurikulum, dan peraturan. Dalam pendirian kongregasi suster, ia sendiri yang menulis surat kepada para pastor untuk mensosialisasikan gagasannya dan menjelaskan spiritualitas yang diinginkan. Relasinya dengan para Suster Abdi Dalem Sang Kristus digambarkan sangat personal dan penuh kekeluargaan, layaknya seorang bapa yang memperhatikan kebutuhan anak-anaknya, baik kebutuhan material seperti peralatan maupun kebutuhan spiritual seperti pemberkatan. Bahkan di masa pensiunnya, ia memilih untuk kembali membina calon imam Yesuit dan menjadi pembimbing rohani.