
Albertus Soegijapranata merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Uskup pribumi pertama di Indonesia ini memiliki semboyan yaitu “100% Katolik, 100% Indonesia” Semboyan ini menegaskan sikap keberpihakannya terhadap bangsa Indonesia, sekaligus menghapus keraguan bahwa umat Katolik bisa bersikap nasionalis. Dengan semboyan ini, ia mendorong umat Katolik dan seluruh rakyat Indonesia untuk tetap setia dan berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pandangan ini sangat berpengaruh dalam menyatukan semangat kebangsaan di tengah keberagaman agama dan latar belakang masyarakat.
Soegijapranata juga terlibat dalam diplomasi di tingkat internasional untuk memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia. Melalui jaringan Gereja Katolik dunia, ia berhasil menyuarakan kondisi bangsa Indonesia yang sedang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaannya. Upaya ini sangat penting karena pada masa itu Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara-negara lain agar eksistensi Republik semakin kuat.
Selain itu, melalui khotbah, surat gembala, dan pidato di radio, ia menanamkan nilai kemerdekaan, kebebasan, dan kebenaran. Pesan-pesannya tidak hanya ditujukan kepada umat Katolik, tetapi juga kepada seluruh rakyat Indonesia. Suaranya memberikan semangat dan penguatan moral di tengah situasi sulit, terutama saat rakyat menghadapi penjajahan kembali setelah proklamasi.
Perjuangan Soegijapranata tidak terlepas dari nilai-nilai luhur yang ia hidupi. Ia dikenal sebagai sosok yang berjiwa nasionalis sejati, peduli terhadap sesama, jujur, rendah hati, serta selalu hidup sederhana. Ia rela melayani masyarakat tanpa pamrih, bahkan di tengah kesulitan. Lebih dari itu, ia juga berani membela kebenaran meskipun penuh risiko, menunjukkan integritas moral yang kuat. Nilai-nilai inilah yang menjadikan dirinya teladan, bukan hanya bagi umat Katolik, melainkan juga bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dengan demikian, Albertus Soegijapranata adalah figur yang mampu mengintegrasikan iman, moral, dan nasionalisme dalam perjuangannya. Perannya dalam diplomasi, dukungan moral, serta keteguhan sikapnya menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya dilakukan dengan senjata, tetapi juga dengan hati dan nilai kemanusiaan. Hingga kini, sosoknya tetap relevan sebagai teladan hidup sederhana, peduli, jujur, dan berani membela kebenaran demi kebaikan bangsa dan negara.
Soegija menampilkan keteguhan imannya sejak ia berusia kecil hingga ia menjadi uskup. Kehidupannya yang berlatar belakang Jawa, telah menunjukan sebuah tantangan yang harus Soegija alami sebab pada masa itu, semua uskup Katolik berasal dari Belanda yang berkulit putih, sehingga kebencian terlihat dari dua sisi, baik dari sisi pemimpin Gereja di Hindia Belanda maupun dari rakyat Indonesia. Munculnya Soegijapranata sebagai uskup pribumi pertama memicu adanya pertentangan karena dianggap melanggar tradisi keturunan Eropa dan keraguan jika imam pribumi memiliki kapabilitas untuk memimpin dan membawa umat Katolik dengan gaya dan wibawa yang setara dengan Eropa. Kecurigaan dari rakyat pribumi juga meluap karena pada saat itu Katolik dan Kristen dianggap sebagai agama penjajah sehingga stigma buruk menimbulkan kericuhan terhadap kehadiran agama Katolik di masa perjuangan. Meskipun begitu, Soegija tetap teguh dan rendah hati. Prestasinya sebagai uskup pertama yang meskipun mendatangkan tantangan dan kebanggaan tidak membuatnya sombong, tetapi justru menguatkan komitmennya dalam pelayanannya terhadap masyarakat Indonesia.
Dari semua tantangan tersebut, Soegija mampu menunjukan eksistensinya sebagai seorang yang 100% Katolik dan 100% Indonesia. Ia mencetuskan semboyan tersebut pada Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) II, 27 Desember 1954. Semboyan tersebut menyatakan dengan tegas, bahwa seorang Katolik bisa menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia, mempertahankan originalitasnya dan kekhasannya dari bangsa Indonesia tanpa meluputkan makna dan iman kehidupan Katolik. Terbukti dengan dedikasi yang Beliau berikan melalui kontribusinya terhadap perjuangan Indonesia dan semangat persuasifnya pada umat Katolik, pastor, hingga suster untuk bisa ikut serta tidak hanya sembunyi dan hidup dengan penuh ketakutan, tetapi bisa aktif dalam kontribusinya di perjuangan Indonesia melalui pelayanan sosial, seperti adanya pembangunan sekolah, rumah sakit, dan lainnya yang tidak hanya ditujukan untuk para Katolik, tetapi untuk fasilitas umum. Hal ini menegaskan bahwa Soegija menghidupi dengan kesungguhan hati Firman dan Kitab Sucinya. Seperti yang tertera pada Yakobus 2:17, “Iman tanpa perbuatan adalah mati”. Selain itu, karyanya yang menyelamatkan ini sesuai dengan nilai Vinsensian penyelamatan jiwa-jiwa karena prinsip dan usahanya telah mengubahkan pandangan orang dan menyelamatkan kaum Katolik maupun jiwa-jiwa para kaum pribumi.
Selain itu, dedikasinya yang ia berikan kepada negara melalui peran-perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia menunjukan kesetiaan dan nasionalisme yang mendalam pada Allah dan negara. Pengorbanan dan sikap matiraga sangat ia tonjolkan, didukung pula dengan salah satu ayat dalam Alkitab yang menyatakan demikian.“Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” (Matius 22:21). Hal tersebut menegaskan bahwa sebagai warga negara Indonesia, Soegija dalam tantangan dan perbedaan agama yang terjadi tetap menunjukkan keberaniannya untuk menjalankan kewajiban dan memberikan hak pada negara Indonesia.
Selain itu, segala perjuangan yang Beliau berikan juga berdasar pada penghubungan konsep teologi pada perintah ke-4 dari sepuluh perintah Allah dengan dimensi kebangsaan. “Jika kita sungguh-sungguh Katolik sejati, kita sekaligus patriot sejati.”, ucap Soegijapranata dengan tegas. Ia mengatakan bahwa menurut perintah Allah ke-4, sebagaimana tercantum pada Katekismus 2197-2257 bahwa kita wajib mencintai Gereja Kudus, dan negara seperti menghormati kedua orang tua kita sendiri. Kelemahlembutan dan kasih yang beliau tunjukan memberikan teladan bagi orang Katolik mengenai sikap yang seharusnya diaplikasikan dalam masyarakat.
Lebih lanjut, nilai-nilai Soegija yang dapat diambil, seperti keadilan, kejujuran dan kebaikan bersama. Ia menekankan bonum commune (demi kesejahteraan, kebaikan bersama) dalam sebuah perkawinan. Hal ini menunjukan konsistensinya pada semua bidang. Kemudian, ajaran untuk menjunjung tinggi kebenaran, kebaikan, dan keindahan tertera dengan kerangka yang Soegija pegang teguh yaitu, verum, bonum, pulchrum sebagai landasan moral, bahwa jiwa merdeka adalah yang mencari yang benar, mengarah pada kebaikan, dan menghargai keindahan yang benar. Perbuatannya sesuai pada ajaran Alkitab dari Mikha 6:8, yaitu “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” dan nilai kesederhanaan seperti yang diajarkan oleh Santo Vinsensius. Semua hal itu merujuk pada perilaku jujur dan penolakan terhadap penyelewengan. Hal itu ia buktikan lewat pendidikan yang menekankan kecintaan akan kejujuran dan aksi penolakan terhadap ketidakadilan ekonomi yang sedang terjadi, yaitu ekonomi praktik lintah darat.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.