Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya ditopang oleh para pejuang bersenjata, tetapi juga oleh tokoh-tokoh rohani yang memberi sumbangan melalui iman, pendidikan, dan pengorbanan. Salah satunya adalah Romo Richardus Kardis Sandjaja, seorang Imam Katolik di Muntilan, Jawa Tengah. Romo Sandjaja hidup di tengah dua peristiwa besar, yakni pendudukan Jepang (1942–1945) dan Agresi Militer Belanda II (1948). Puncak hidupnya terjadi pada 20 Desember 1948, ketika ia bersama Frater Herman Bouwens SJ diculik oleh sekelompok laskar Hizbullah, lalu disiksa dan dibunuh di sawah Kembaran, Patosan. Tindakan keberanian menyerahkan diri demi melindungi rekan imam dan para seminaris menunjukkan peran Romo Sandjaja sebagai martir, yang mengorbankan nyawanya demi keselamatan orang lain. Walau bukan pejuang bersenjata, pengorbanannya ikut memperkokoh fondasi moral perjuangan bangsa.

Dari kisah hidup dan kematiannya, terdapat sejumlah nilai yang patut diteladani. Pertama, kesetiaan pada panggilan hidup. Sejak remaja ia sudah ingin menjadi imam, meski ditentang oleh ayahnya karena alasan ekonomi dan budaya. Namun ia tetap teguh mengikuti jalannya. Kedua, keberanian. Ia berani melawan arus, menjadi imam pribumi di masa ketika hampir semua imam berasal dari Belanda, serta tetap melayani di tengah ancaman perang. Ketiga, kerendahan hati dan kesederhanaan. Sandjaja hidup dekat dengan umat kecil, rela berbagi penderitaan, dan tidak menuntut kenyamanan. Keempat, pengorbanan dan cinta kasih. Ia rela mati demi menyelamatkan sesama imam dan umatnya.

Nilai-nilai ini tidak hanya relevan bagi kehidupan rohani, tetapi juga bagi kehidupan berbangsa. Kesetiaan, keberanian, kerendahan hati, dan pengorbanan adalah modal moral yang sangat penting dalam membangun bangsa yang merdeka dan bermartabat.

Nilai-nilai yang dihidupi Romo Sandjaja sejalan dengan ajaran Kitab Suci. Kesetiaannya pada panggilan hidup mencerminkan semangat Nabi Yeremia yang berkata “Engkau telah memikat aku, ya Tuhan, dan aku telah membiarkan diriku dipikat” (Yeremia 20:7). Panggilan menjadi imam bukan sekadar pilihan pribadi, tetapi jawaban terhadap panggilan Allah. Keberanian dan pengorbanannya juga sejalan dengan sabda Yesus “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada memberikan nyawa untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13). Dengan rela mati demi rekan imam dan para seminaris, Sandjaja sungguh menghidupi kasih yang diajarkan Kristus.

Nilai-nilai hidup Romo Sandjaja juga memiliki kedekatan dengan spiritualitas Vincentian, yakni semangat yang diwariskan oleh St. Vincent de Paul, melayani Kristus dalam diri orang miskin, sederhana, dan menderita. Pertama, kesetiaan dan pengorbanannya menunjukkan komitmen total dalam pelayanan. Ia tidak mundur meski harus kehilangan nyawa. Kedua, kerendahan hati dan kesederhanaannya selaras dengan semangat Vincentian yang menekankan hidup sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Ketiga, keberaniannya melawan arus zaman demi iman sejalan dengan semangat Vincentian yang berani memperjuangkan keadilan bagi kaum tertindas.

Dengan demikian, kisah Sandjaja bukan hanya inspirasi lokal, tetapi juga menyuarakan semangat universal Gereja untuk melayani sesama tanpa pamrih. Ia menjadi contoh nyata bagaimana seorang imam Jawa mampu menghidupi nilai-nilai Vinsensian dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Romo Richardus Kardis Sandjaja adalah sosok imam yang lahir, hidup, dan wafat dalam kesetiaan pada panggilan. Perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan dengan senjata, melainkan dengan iman, pelayanan, dan pengorbanan. Dari kisah hidupnya, kita belajar nilai kesetiaan, keberanian, kerendahan hati, dan pengorbanan. Nilai-nilai tersebut berakar dalam Kitab Suci dan memiliki hubungan erat dengan spiritualitas Vinsensian. Hingga kini, teladan Romo Sandjaja tetap hidup di kalangan masyarakat. Mengajarkan iman yang teguh, kasih yang besar, dan keberanian untuk menyerahkan hidup demi sesama. Dalam dirinya, kita menemukan martir iman yang sekaligus pejuang moral bangsa.